Sabtu, 20 Januari 2018

Dampak Psikis Persekusi Penelanjangan

Tindakan persekusi, seperti pengeroyokan dan mengarak untuk dipermalukan, seringkali dilakukan masyarakat saat merasa telah memergoki kejahatan.

Fenomena mempersekusi, atau bahkan mempermalukan orang, kembali marak belakangan ini. Perarakan bugil sendiri bukan hal baru. Tindakan-tindakan persekusi ini dilatari oleh keyakinan bahwa hukuman sosial dengan mempermalukan terduga akan lebih efektif memberi efek jera ketimbang hukum negara.

Keraguan terhadap penegakan hukum yang dianggap lemah dan tebang pilih juga menjadi latar belakang. Keraguan macam itu bahkan seringkali membuat tindakan persekusi menjadi hukuman yang tidak hanya bersifat psikis namun juga represif.


Misal saja yang terjadi baru-baru ini pada R (28) dan M (20). Mereka tiba-tiba digerebek di kontrakan oleh warga di Cikupa, Kabupaten Tangerang, pada Sabtu (11/11/2017). Keduanya dipaksa mengaku telah berbuat cabul, untuk kemudian ditelanjangi, diarak, dan didokumentasikan oleh orang-orang yang hadir. Dalam video yang beredar, M terdengar berteriak histeris saat bajunya dirampas oleh salah satu warga.

Tak hanya sampai di situ. M dan R juga dipukuli dan dicekik warga. Padahal, keduanya tak terbukti melakukan perbuatan mesum. R hanya membawakan makanan untuk M. Pada saat penggerebekan, ia sedang berada di kamar mandi, numpang gosok gigi sementara R menyantap makanan yang dibawakan untuknya.

Persekusi dengan mengarak bugil pelaku kejahatan juga tidak hanya dilakukan karena tuduhan mesum. Tapi juga aktivitas kejahatan lain seperti mencuri. Pada 2016 lalu, sempat geger persekusi terhadap siswi SMP berumur 14 tahun yang dituduh mencuri sandal jepit dan pakaian bekas. Ia merupakan anak keluarga kurang mampu di wilayah tersebut.

Meski telah diselesaikan secara kekeluargaan di rumah pejabat desa setempat, namun keluarga pemilik sandal dan pakaian tak terima dan mendatangi rumah korban. Sesampainya di sana, pakaiannya dilucuti dan diarak keliling kampung sejauh 1 km dengan berkalung sandal jepit.

Akibat persekusi tersebut, si bocah sampai putus sekolah karena tak kuat menanggung malu. Ia juga berulang kali mencoba mengakhiri hidup. Di nadinya, terlihat bekas sayatan, bukti percobaan bunuh diri yang berhasil digagalkan keluarganya.

Korban kedua kejadian tersebut sama-sama harus menanggung malu berkepanjangan. Karena selain menjadi tontonan warga sekitar, video dan foto mereka pun telanjur tersebar. Bahkan, pada kejadian R dan M, ketua RT setempat mengajak warganya untuk berswafoto dan mengabadikan kejadian persekusi tersebut.

Bagaimana pun, aksi persekusi apa pun, termasuk menelanjangi pelaku kejahatan tak dapat dibenarkan. Benar tidaknya si terduga melakukan kejahatan, tidak membuat persekusi menjadi absah.

Apa yang dialami oleh R dan M, juga bocah asal Sragen, sudah termasuk tindakan pelecehan seksual. Dampaknya kepada korban tak main-main. Hak-hak mereka untuk melanjutkan hidup dengan normal terenggut karena harga dirinya telah ditelanjangi. Bahkan tak jarang ada yang mencoba bunuh diri.

Psikolog Kasandra Putranto menyatakan persekusi penelanjangan terhadap perempuan lebih berdampak buruk pada korban. Karena tindakan tersebut melibatkan kekerasan dan pelecehan seksual, hal itu sekaligus menghancurkan rasa percaya diri serta menimbulkan gangguan emosional dan perilaku.

“Depresi dan post traumatic stress disorder (PTSD) yang paling mungkin terjadi,” katanya.

PTSD atau gangguan stres pascatrauma merupakan kondisi kejiwaan yang dipicu pengalaman terhadap kejadian tragis. Terdapat dua kemungkinan yang akan dialami orang dengan PTSD, yakni terus mengingat setiap detail kejadian. Atau, trauma berlebih yang justru memicu sistem otaknya menghapus ingatan tentang kejadian tersebut.

Saat mengalami PTSD, hipokampus, yaitu bagian otak yang bertanggung jawab terhadap ingatan dan emosi, akan berukuran lebih kecil dibanding bagian otak lain. Hal ini berkaitan dengan rasa gelisah dan takut yang meningkat.

Orang dengan PTSD biasanya akan sulit tidur, sering bermimpi buruk, merasa terisolir, halusinasi mengalami kejadian yang sama, produktivitasnya menurun, dan dampak-dampak sosial lain seperti kehilangan pekerjaan/pendidikan, penurunan pendapatan, dan gangguan kesehatan baik secara psikologis maupun fisik.


“Jika sudah begini, perlu pemulihan dan rehabilitasi mental secara berkesinambungan. Walau jangkanya lama dan panjang, tapi tetap menyisakan luka batin,” lanjut Kasandra.

PTSD diperkirakan terjadi pada 30 persen dari orang-orang yang mengalami kejadian traumatis. Sayangnya, keadaan mental korban tak akan kembali normal meski telah menjalani rehabilitasi dan pemulihan. Rasa curiga dan was-was akan selalu menghantui, mereka akan jadi sulit percaya terhadap orang lain. Dan jelas, kehilangan gairah hidup untuk melanjutkan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar